Halaman

Senin, 23 Januari 2012

Bayiku Kuning

Bayiku Kuning

STEP 1
1.    Metode Kramer    : suatu metode untuk menilai kekuningan pada neonates
STEP 2
1.    Mengapak Nampak kekuningan pada hari ke 2 ?
2.    Apakah ada hubungannya dengan  imunisasi hepatitis B ?
3.    Apakah ada hubungannya dengan ketuban pecah dini lebih dari 6 jam dengan ikterus ?
4.    Mengapa pada hari ke 3 bayi mals minum dan suhu 380C, letargi ?
5.    Proses pembentukan bilirubin ?
6.    Criteria pemeriksaan metode Kramer ?
Assasment    :
1.    Bilirubin fisiologis
2.    Bilirubin patologis
    Hiperbilirubinemia
a.    Etiologi
b.    Manifestasi klinis
c.    Diagnosis
d.    Penatalaksanaan
e.    Pencegahan
f.    Prognosis
g.    Komplikasi
3.    infeksi pada neonates
a.    Etiologi
o    Infeksi karna ketuban pecah dini > 6 jam (2 hari)
b.    Manifestasi klinis
c.    Diagnosis
d.    Penatalaksanaan
e.    Pencegahan
f.    Prognosis
g.    Komplikasi
  
ikterus pada bayi karna pembentukan bilirubin terganggu, fungsi hati belum baik.


STEP 3
1.    Mengapak Nampak kekuningan pada hari ke 2 ?
2.    Apakah ada hubungannya dengan  imunisasi hepatitis B ?
3.    Apakah ada hubungannya dengan ketuban pecah dini lebih dari 6 jam dengan ikterus ?
4.    Mengapa pada hari ke 3 bayi malas minum dan suhu 380C, letargi ?
5.    Bilirubin fisiologis
    Muncul 2-3 hari setelah lahir dan menghilang pada 10 hari pertama normal pada bayi aterm.
    Mengapa ikterus baru muncul 2-3 hari setelah lahir ?
o    karena fungsi hepar yang belum matang,
o    adanya pemecahan bilirubin I belum menjadi bilirubin II sehingga bilirubin masuk kembali ke dalam aliran darah.
o    Hipoksi pada jam-jam kelahiran pertama  Merangsang eritrosit semakin banyak dan as. Glukoronat belum bnayak  ikterus pada naonatus
    Siklus bilirubinemia    :
Ertirosit  hB  heme  dan globin  heme dipecah jadi Fe dan 4 inti pirol menjadi biliverdin direduksi secara cepat  bilirubin I+ albumin di dalam usus bilirubin II + as.glukoronat  menjadi urobilinogen dan sterkobilirubin  sterkobilinogen menjadi sterkobilin dibantu bakteri untuk mewarnai feses menjadi coklat sedangkan urobilinogen menjadi urobilin untuk mewarnai urin menjadi kuning.
6.    Bilirubin patologis
a.    Etiologi
o    Kerusakan fungsi hepar.
o    Infeksi pada fase persalinan karena KPD.
o    Ikterus  gangguan pada golongan darah dan resus.
o    Imunologis Pewarisan rH dari orang tua  pada bayi dianggap benda asing.
b.    Manifestasi klinis
o    Ikterus pada hari pertama  disertai hepatosplenomegali
o    Anemia ringan
c.    Diagnosis
o    Anamnesis
    Riwayat ibu selama hamil
    Riwayat antenatal
    Fase kelahiran KPD +/-
o    Px. Fisik
    Pantau hari ke 3 ikterus pada kepala dulu karena mukosa pada kepala lebih tipis dan meengandung banyak lipid lalu menyebar pada badan +/-
o    Px. Visual
    Metode Kramer
1.    Ikterus Nampak dari kepala samapi leher
2.    Ikterus Nampak kepala, badan, umbilicus
3.    Ikterus Nampak Kepala, badan, paha, lutut
4.    Ikterus Nampak Kepala, badan, ekstermitas atas dan bawah
5.    Ikterus Nampak kepala, badan, semua ekstermitas sampai ujung-ujung jari
d.    Penatalaksanaan
o    Pemberian ASI terus untuk meningkatkan imunitas bayi
o    Dengan penyinaran
e.    Pencegahan
o    Suntikan imunosupresor agar Rh dalam bayi cocok
o    Ibu tidak mengkonsumsi obat-obatan yang menyebabkan ikterus
o    Penatalaksanaan antenatal yang baik
o    Dari bayi ganti darah untuk menukar Rh
f.    Prognosis
o    Bila teratasi sedini mungkin maka prognosis baik, bila terlambat kemungkinan bisa hepatosplenomegali dan tidak bisa terselamatkan karna adanya penolakan Rh dalam tubuh bayi.
g.    Komplikasi
o    Hepatosplenomegali
o    Hepatitis
o    Sepsis

7.    infeksi pada neonates
a.    Etiologi
o    Infeksi karna ketuban pecah dini > 6 jam (2 hari)
o    Bakteri (streptokokus grup B, E, E.coli)
o    Virus (harpes simplek)
o    Jamur (candida)
o    protozoa
b.    Manifestasi klinis
o    Malas minum
o    Letargi
o    BB menurun  hanya pada infeksi
o    Muntah
o    Timbul ikterus
c.    Diagnosis
o    Anamneis
    Riwayat kehamilan, infeksi +/-
    Proses persalinan, KPD dan partus lama +/-, persalinan dibantu siapa?
    Riwayat BBRL, riwayat trauma +/-, asupan kalori kurang, hipertermia
d.    Penatalaksanaan
o    Pemberian ASI terus
o    Pemberian antibiotic sprektum luas
o    Pertahankan suhu tubuh bayi agar tetap hangat
e.    Pencegahan
o    Antenatal care
o    Menjaga kehygienisan si penolong
f.    Prognosis
o    Angka kematian neonatal 10-40%, tinggi rendahnya tergantung dari timbulnya ikterus dan cara penatalaksanaanya.
g.    Komplikasi
o    Sepsis
o    Hepatosplenomegali
STEP 4

STEP 5
STEP 6
    Mengapak Nampak kekuningan pada hari ke 2 ?
Umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama > 2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1-2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat. Bisa terjadi dalam waktu 2-4 minggu, bahkan dapat mencapai waktu 6 minggu. Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu formula juga akan mengalami peningkatan dengan puncak yang lebih tinggi dan lebih lama, begitu juga dengan penurunannya jika tidak diberikan fototerapi pencegahan. Peningkatan sampai 10-12 mg/dL masih dalam kisaran fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin.
(Buku Ajar Neonatologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008)

Ikterus Fisiologis dihubungkan :
    Peningkatan kadar bilirubin indirek :
     ∑ eritrosit >
     umur eritrosit <
     ↑ sirkulasi entero hepatik
     Penurunan ambilan bilirubin di hepar :
     kadar ligandin ↓
     saingan ikatan protein intrasel (afinitas dan kompetitor)
     Tak sempurnanya konjugasi
     Penurunan eksresi bilirubin

Physiologic Jaundice (Icterus Neonatorum).
Normal  kadar bilirubin indirek di tali pusat = 1–3 mg/dL, meningkat sekitar < 5 mg/dL/24 jam; dengan demikian, ikterus dapat terlihat pada hari ke 2-3, biasanya memuncak antara hari ke 2-4 sebanyak 5–6 mg/dL dan turun di bawah 2 mg/dL antara hari ke 5-7 kehidupan. Ini dikatakan normal dan dipercaya akibat dari peningkatan produksi bilirubin melalui pemecahan RBC ditambah dengan keterbatasan konjugasi oleh hati.
Overall, 6–7% bayi aterm punya kadar bilirubin indirek > 12.9 mg/dL dan  3% kadarnya > 15 mg/dL. Faktor risiko hiperbilirubinemia indirek termasuk diabetes maternal, ras (Chinese, Japanese, Korean, and Native American), prematur, obat (vitamin K3, novobiocin), ketinggian, polycythemia, male sex, trisomy 21, cutaneous bruising, cephalohematoma, oxytocin induction, breast-feeding, weight loss (dehydration or caloric deprivation), delayed bowel movement, and a sibling who had physiologic jaundice. Riwayat keluarga dengan ikterus, exclusive breast-feeding, bruising, cephalohematoma, Asian race, dan usia ibu > 25 th, didentifikasi 60% kasus extreme hyperbilirubinemia. Bilirubin indirek turun (1 mg/dL) pada hari 10–14 kehidupan.
Persistent hiperbilirubinemia indirek  selama 2 minggu mengarah ke hemolysis, hereditary glucuronyl transferase deficiency, breast milk jaundice, hypothyroidism, atau intestinal obstruction. Ikterus yang berhubungan dengan pyloric stenosis mungkin mengarah ke caloric deprivation, deficiency of hepatic UDP-glucuronyl transferase, atau ileus-menyebabkan peningkatan sirkulasi bilirubin.
Diagnosis ikterus fisiologis pada bayi aterm atau preterm dapat  ditentukan dengan mengetahui penyebab ikterus berdasarkan penemuan klinis dan laboratoriums. Penentuan penyebab ikterus harus ditegakkan jika (muncul 24–36 jam pertama kehidupan, (2) serum bilirubin meningkat > 5 mg/dL/24 jam, (3) serum bilirubin > 12 mg/dL aterm (khususnya yang tidak punya factor risiko) atau 10–14 mg/dL pada bayi preterm, (4) ikterus persisten setelah 10–14 hari kehidupan, atau (bilirubin direk > 2 mg/dL kapan saja

Ikterus klinis yang terjadi pada bayi usia kurang dari 24 jam dengan atau peningkatan kadar bilirubin lebih dari 5 mg/dl /hari dengan atau hemolisis.
(Kapita selekta kedokteran,jilid 2 edisi 3)

    Apakah ada hubungannya dengan  imunisasi hepatitis B ?
Tidak ada, KIPI rendah hanya rasa sakit pada daerah suntikan.
    Apakah ada hubungannya dengan ketuban pecah dini lebih dari 6 jam dengan ikterus?
    Mengapa pada hari ke 3 bayi malas minum dan suhu 380C, letargi?
    Bilirubin fisiologis

Dewasa : Bilirubin direk  reduksi oleh bakteri ( C. Perfringens & E. Coli)  sterkobilin  feses
Bayi : Bilirubin direk  bakteri (-)  hidrolisis oleh β-glukoronidase  bilirubin indirek  sirkulasi enterohepatik


    Muncul 2-3 hari setelah lahir dan menghilang pada 10 hari pertama normal pada bayi aterm.
    Mengapa ikterus baru muncul 2-3 hari setelah lahir ?
o    karena fungsi hepar yang belum matang,
o    adanya pemecahan bilirubin I belum menjadi bilirubin II sehingga bilirubin masuk kembali ke dalam aliran darah.
o    Hipoksi pada jam-jam kelahiran pertama  Merangsang eritrosit semakin banyak dan as. Glukoronat belum bnayak  ikterus pada naonatus
    Siklus bilirubinemia    :
Ertirosit  hB  heme  dan globin  heme dipecah jadi Fe dan 4 inti pirol menjadi biliverdin direduksi secara cepat  bilirubin I+ albumin di dalam usus bilirubin II + as.glukoronat  menjadi urobilinogen dan sterkobilirubin  sterkobilinogen menjadi sterkobilin dibantu bakteri untuk mewarnai feses menjadi coklat sedangkan urobilinogen menjadi urobilin untuk mewarnai urin menjadi kuning.
    Bilirubin patologis
a.    Etiologi
1.    Produksi yg berlebihan lebih daripada kemampuan bayi u/ mengeluarkannya misalnya pada hemolisis yg meningkat pd inkompatibilitas darah Rh, ABO,gol darah lain, defisiensi enzim G6PD, pyruvate kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2.    Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat disebabkan o/ imaturitas hepar, kurangnya substrat u/ konjugasi bilirubin gangguan fungsi hepar akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya ensim glukoronil transferase. Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yg berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel2 hepar.
3.    Gangguan dlm transportasi. Bilirubin dalam terikat o/ albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dgn albumin ini dpt dipengaruhi o/ obat2an misalnya salisilat, sulfafurozole. Difesiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yg bebas dlm darah yg mudah melekat ke sel otak.
4.    Gangguan dalam ekskresi.
Gangguan ini dpt tjd akibat obstruksi dlm hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar o/ penyebab lain.
(Hanifa W.2007.Ilmu Kebidanan.Jakarta:YBP-SP)

o    Kerusakan fungsi hepar.
o    Infeksi pada fase persalinan karena KPD.
o    Ikterus  gangguan pada golongan darah dan resus.
o    Imunologis Pewarisan rH dari orang tua  pada bayi dianggap benda asing.
b.    Manifestasi klinis
    Ikterus pd muka, ketika kadar serum bertambah, turun ke abdomen & kemudian ke kaki
    Tekanan kulit dpt menunjukkan kemajuan anatomi ikterus (muka : 5mg/dL, tengah-abdomen : 15 mg/dL, telapak kaki : 20 mg/dl)
    Ikterus pd bgn tengah-abdomen, tanda & gejala mrpkn faktor risiko tinggi yg memberi kesan ikterus nonfisiologis atau hemolisis
    Ikterus akibat pengendapan B1 pd kulit tampak kuning terrang atau orange
    Ikterus tipe obstruktif (B2) kulit tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh
    Bayi mjd lesu & nafsu makan jelek
       (Wado E.Nelson.1999.Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta:EGC)
a.    Diagnosis
    Table 91-1   -- Diagnostic Features of the Various Types of Neonatal Jaundice
Diagnosis    Nature of Van den Bergh Reaction    Jaundice    Peak Bilirubin Concentration    Bilirubin Rate of Accumulation (mg/dL/day)    Remarks
        Appears    Disappears    mg/dL    Age in Days      
“Physiologic jaundice”:                                  Usually relates to degree of maturity
  Full-term    Indirect    2–3 days    4–5 days    10–12    2–3    <5    
  Premature    Indirect    3–4 days    7–9 days    15    6–8    <5    
Hyperbilirubinemia due to metabolic factors                                  Metabolic factors: hypoxia, respiratory distress, lack of carbohydrate
  Full-term    Indirect    2–3 days    Variable    >12    1st wk    <5    Hormonal influences: cretinism, hormones, Gilbert syndrome
  Premature    Indirect    3–4 days    Variable    >15    1st wk    <5    Genetic factors: Crigler-Najjar syndrome, Gilbert syndrome
                                   Drugs: vitamin K, novobiocin
Hemolytic states and hematoma    Indirect    May appear in 1st 24 hr    Variable    Unlimited    Variable    Usually >5    Erythroblastosis: Rh, ABO, Kell
                                   Congenital hemolytic states: spherocytic, nonspherocytic
                                   Infantile pyknocytosis
                                   Drugs: vitamin K
                                   Enclosed hemorrhage—hematoma
Mixed hemolytic and hepatotoxic factors    Indirect and direct    May appear in 1st 24 hr    Variable    Unlimited    Variable    Usually >5    Infection: bacterial sepsis, pyelonephritis, hepatitis, toxoplasmosis, cytomegalic inclusion disease, rubella, syphilis
                                   Drugs: vitamin K
Hepatocellular damage    Indirect and direct    Usually 2–3 days, may appear by 2nd wk    Variable    Unlimited    Variable    Variable, can be >5    Biliary atresia; paucity of bile ducts, familial cholestasis, galactosemia; hepatitis and infection
    From Brown AK: Pediatr Clin North Am 1962;9:589.

o    Anamnesis
    Riwayat ibu selama hamil
    Riwayat antenatal
    Fase kelahiran KPD +/-
o    Px. Fisik
    Pantau hari ke 3 ikterus pada kepala dulu karena mukosa pada kepala lebih tipis dan meengandung banyak lipid lalu menyebar pada badan +/-
o    Px. Visual
    Metode Kramer
1.    Ikterus Nampak dari kepala samapi leher
2.    Ikterus Nampak kepala, badan, umbilicus
3.    Ikterus Nampak Kepala, badan, paha, lutut
4.    Ikterus Nampak Kepala, badan, ekstermitas atas dan bawah
5.    Ikterus Nampak kepala, badan, semua ekstermitas sampai ujung-ujung jari
a.    Penatalaksanaan
o    Pemberian ASI terus untuk meningkatkan imunitas bayi
o    Dengan penyinaran
Terapi sinar
1.    indikasi
-    setiap saat apabila bilirubin indirect lebih dari 10mg%
-    pra- transfusi tukar
-    pasca transfusi tukar
-    terdapat ikterik pd hari pertama yg disertai hemolisis
2.    perawatan bayi dg terapi sinar
diperiksa terlebih dahulu apakah seluruh lampu telah terpasang dg baik. Lampu yg digunakan sebaiknya tidak dipergunakan lebih dr 500 jam (menghindari turunyya energi yg dihasilkan oleh lampu yg dipergunakan)
-    diusahakan agar bagian tubuh bayi yg kena sinar dapat seluas mungkin dg membuka pakaian bayi
-    kedua mata dan gonad ditutup dg penutup yg dpt memantulkan cahaya
-    bayi diletakkan 8 inci di bwh sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yg terbaik untuk mendapatkan energi yg optimal
-    posisi bayi sebaiknya diubah2 setiap 18 jam agar bagian tubuh yg terkenana cahya dpt menyeluruh
-    suhu bayi diukur scr berkala 4-6 jam/ kali.
-    Kadar bilirubin diperiksa setiap 8 jam / sekurang2nya sekali dlm 24 jam
-    Hb juga harus diperiksa scr berkala terutama pd penderita hemolisis
-    Perhatikan hidrasi bayi , bila perlu konsumsi cairan bayi dinaikkan
-    Lamanya treapi sinar dicatat
-    SE biasanya bersifat sementara dan penyinaran dapat diteruskan setelah keadaan yang menyertainya dapat diperbaiki
-    
-    Efek samping terapi sinar (Komplikasi terapi sinar umumnya ringan, sangat jarang terjadi dan reversibel)
Kelainan    Mekanisme yang mungkin terjadi

Bronze baby syndrome    Berkurangnya ekskresi hepatik hasil penyinaran bilirubin
Diare    Bilirubin indirek menghambat laktase
Hemolisis    Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit
Dehidrasi    Bertambahnya Insensible Water Loss (30-100%) karena menyerap energi foton
Ruam kulit    Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast kulit dengan pelepasan histamin
-    (Tatalaksana Ikterus Neonatorum.2004)
3.     komplikasi terapi sinar
-    peningkatan ‘insensible water loss’ pd bayi
-    frekuensi defekasi yg meningkat
-    timbulnya kelainan kulit ‘ flea bite rash’ di daerah muka, badan dan ekstremitas
-    gangguan retina
-    gangguan pertumbuhan
-    kenaikan suhu
(Ilmu Kesehatan Anak , ed 3)
1.    Transfusi tukar
•    Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar (Friel, 1982). (Tatalaksana Ikterus Neonatorum.2004)
•    Tindakan utama yang dapat menurunkan dengan cepat kadar bilirubin indirek dalam tubuh.
•    Bermanfaat juga dalam mengganti eritrosit yang telah terhemolisis dan membuang antibody yang menimbulkan hemolisis.

Indikasi dilakukan transfuse tukar:
a.    Bila dijumpai kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl
b.    Kadar bilirubin tali pusat lebih dari 4mg/dl
c.    Kadar hemoglobin kurang dari 10g/dl
d.    Terdapat peninggian bilirubin yang sangat signifikan dan cepat (1mg/dl tiap jam)
e.    Bayi yang menderita asfiksia, sindrom gagal nafas, asidosis metabolic, tanda kelainan susunan saraf pusat, dan bayi dengan BBL kurang dari 1500g. keadaan ini semua dapat dipertimbangkan untuk melakukan tranfusi tukar walaupun kadar bilirubin belum mencapai 20 mg/dl.
Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan transfusi tukar pada hiperbilirubinemia. Indikasi transfusi tukar berdasarkan keputusan WHO tercantum dalam tabel 5.
Tabel 5. Indikasi Transfusi Tukar Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum
Usia     Bayi Cukup Bulan Sehat    Dengan Faktor Risiko
    mg/dL    mg/dL
Hari ke-1    15    13
Hari ke-2    25    15
Hari ke-3    30    20
Hari ke-4 dan seterusnya    30    20
(Tatalaksana Ikterus Neonatorum.2004)

Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:
-    Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis
-    Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia
-    Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin
-    Perforasi pembuluh darah
(Tatalaksana Ikterus Neonatorum.2004)

Hal2 yang perlu diperhatikan :
•    Perlu diperhatikan macam darah yang diberikan dan tehnik serta penatalaksanaan pemberian
•    Bila hiperbilirubinemia disebabkan oleh inkompatabilitas gol darah rhesustransfusi tukar dilakukan dengan menggunakan darah gol O rhesus negative.
•    Pada inkompatabilitas gol darah ABO, gol darah yang dipakai adalah gol darah O rhesus positif.
•    Pada keadaan lain yang tidak berhubungan dengan aloimunitas sebaiknya digunakan darah yang bergolongan dengan bayi. Bila tidak memungkinkan dapat dipakai darah gol O yang kompatibel dengan serum ibu.
•    Dapat diberikan darah gol O dengan titer anti A atau anti B yang rendah (kurang dari 1/256).
•    Jumlah darah yang diberikan untuk transfuse tukar berkisar antara 140-180 ml/kg BB.
•    Transfuse dilakukan dalam ruang aseptic dilengkapi alat pemantau tanda vital bayi dan alat yang mampu mengarut suhu lingkungan
•    Transfuse melalui pembuluh darah umbilicus dan memperhatikan factor aseptic dan antiseptic.
Mekanisme :
Tindakan transfuse tukar dilakukan terlebih dahulu dengan mengambil 10-20 ml darah bayi. Darah tersebut diperiksa untuk mengetahui serologic, biakan, G6PD, dan bilirubin sebelum transfuse. Selanjutnya barulah transfuse dilakukan dengan menyuntikkan darah secara perlahan2 sebanyak darah yang dikeluarkan. Pengeluaran dan penyuntikan dilakukan secara bergantian sebanyak 10-20 ml setiap kali dan berulang2 sampai darah yang disediakan habis. Untuk menghindari terjadinya bekuan darah dan hipokalsemia, setiap 100 ml transfuse dilakukan pula pembilasan dengan larutan NaCL-heparin dan pemberian 1 ml kalsium glukonat. Tindakan transfuse dapat dilakukan berulang apabila bilirubin indirek pasca transfuse masih diatas 20 mg/dl.


Komplikasi tranfusi tukar
-    Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis
-    Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung
-    Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis
-    Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih
-    Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan
-    Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia
(Tatalaksana Ikterus Neonatorum.2004)
•    Asidosis
•    Bradikardia
•    Aritmia
•    Henti jantung
•    Pasca transfuse mungkin ditemukan adanya : hiperkalemia, hipernatremia, atau hipoglikemia. Keadaan ini sering dijumpai pada BBLR atau pada bayi sakit berat.
Teknik Transfusi Tukar
a.    SIMPLE DOUBLE VOLUME. Push-Pull tehnique : jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis/ vena saphena magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.
b.    ISOVOLUMETRIC. Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri umbilikalis dan dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.
c.    PARTIAL EXCHANGE TRANFUSION. Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi dengan polisitemia.
(Tatalaksana Ikterus Neonatorum.2004)
a.    Pencegahan

b.    Prognosis
o    Bila teratasi sedini mungkin maka prognosis baik, bila terlambat kemungkinan bisa hepatosplenomegali dan tidak bisa terselamatkan karna adanya penolakan Rh dalam tubuh bayi.
c.    Komplikasi
o    Hepatosplenomegali
o    Hepatitis
o    Sepsis

    infeksi pada neonates
a.    Definisi : Adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasif dan ditandai dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah, cairan sumsum tulang atau air kemih.
b.    Etiologi
    Pola kuman penyebab sepsis tidak selalu sama antara 1 RS dengan RS yang lain. Perbedaan tersebut terdapat pula antar suatu negara dengan negara lain. Perbedaan pola kuman ini akan berdampak terhadap pemilihan antibiotik yang dipergunakan pada pasien. Perbedaan pola kuman mempunyai kaitan pula dengan prognosa serta komplikasi jangka panjang yang mungkin diderita bayi baru lahir.
    Hampir sebagian besar kuman penyebab di negara berkembang adalah kuman gram negatif berupa kuman enterik seperti Enterobakter sp, Klebsiella sp dan Coli sp. Sedangkan di Amerika utara dan eropa barat 40% penderita terurama disebabkan oleh Streptokokus grup B. Selanjutnya kuman lain seperti Coli sp, Listeria sp dan Enterovirus ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikt.
    (Buku Ajar Neonatologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008)
Patofisiologi
Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion, khorion dan benerapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian kemungkinan kontaminsi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu:
1.    infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin melalui aliran darah mene,mbus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin. Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, triponema pallidum atau Listeria dll.
2.    prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor aseptik/antiseptik misalnya saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau amniosentesis. Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman pada janin.
3.    pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk kedalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban pecah lebih dari 18-24 jam.

Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang memperhatikan tindakan a/antiseptik, rawat inap yang terlalu lama dan hunian terlalu padat.
 (Buku Ajar Neonatologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008)
Infeksi pada neonatus dapat melalui beberapa cara. Blanc (1961) membaginya dalam tiga golongan yaitu :
1.    infeksi antenatal
Kuman mencapai janin melalui peredaran darah ibu ke plasenta. Disini kuman itu melewati batas plasenta dan mengadakan intervillositis. Selanjutnya infeksi melalui vena umbilikalis masuk kejanin. Kuman yang dapat memasuki janin melalui jalan ini ialah :
a.    virus : rubella, poliomielitis, koksakie, variola, vaksinia, sitomegalovirus;
b.    spirokaeta : sifilis
c.    bakteria : jarang sekali dapat melewati plasenta, kecali Escherichia coli dan Listeria monocytogenes.
Tuberkulosis kongenital dapat terjadi melalui  infeksi plasenta; sarang pada plasenta pecah ke licuor amnii dan janin mendapat tuberculosis melalui cairan itu.

2.    infeksi intranatal
infeksi melalui cara ini lebih sering terjadi dari pada cara yang lain. Kuman dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah ketuban pecah. Ketuban pecah lama mempunyai peranan penting dalam timbunya plasentitis dan amnionitis. Infeksi dapat pula terjadi walaupun ketuban masih utuh, misalnya pada partus lama dan sering kali dilakukan pemeriksaan vaginal. Janin kena infeksi karena menginhalasi likuor yang septik, sehingga terjadi pneumonia kongenital atau karena kuman-kuman memasuki peredaran darahnya dan menyebabkan septikemia. Infeksi intranatal dapat juga terjadi dengan jalan kontak langsung dengan kuman yang terdapat dalam vagina, misalnya blenorea dan oral thrush.

3.    infeksi pasca natal
infeksi ini terjadi setelah bayi lahir lengkap dan biasanya merupakan infeksi yang diperoleh (acquired infection). Sebagian besar infeksi yang menyebabkan kematian terjadi sesudah bayi lahir sebagai akibat penggunaan alat, atau perawatan yang tidak steril, atau karena cross-infection. Infeksi postnatal ini sebetulnya sebagian besar dapat dicegah. Hal ini penting skali karena mortalitas infeksi postnatal sangat tinggi. Seringkali bayi lahir di Rumah sakit karena terkena infeksi dengan kuman-kuman ysng sudah tahan terhadap banyak jenis antibiotika, sehingga menyulitkan pengobatannya.
(ilmu kebidanan, hanifa wiknjosastro)
•    klasifikasi
Infeksi pada neonates dapat dibagi menurut berat ringannya dalam 2 golongan besar:
1)    Infeksi berat (major infections) sepsis neonatal, meningitis, pneumonia, diare epidemic, pielonefritis, osteitis akut, tetanus neonatorum
2)    Infeksi ringan (minor infections) infeksi pada kulit, oftalmia neonatorum, infeksi umbilicus (omfalitis), moniliasis
Sumber : Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Perinatologi, dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 3. FKUI. Jakarta. 1985.

a.    Manifestasi klinis
o    Malas minum
o    Letargi
o    BB menurun  hanya pada infeksi
o    Muntah
o    Timbul ikterus
b.    Diagnosis
Dalam menentukan diagnosis diperlukan berbagai informasi antara lain :
    Faktor risiko
1.    Faktor ibu
    Persalinan dan kelahiran kurang bulan
    Ketuban pecah lebih dari 18-24 jam
    Chorioamnionitis
    Persalinan dengan tindakan
    Demam pada ibu (>38,4°C)
    Infeksi saluran kencing pada ibu
    Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu

2. faktor bayi
    Asfiksia perinatal
    Berat lahir rendah
    Bayi kurang bulan
    Prosedur invasif
    Kelainan bawaan
    Gambaran klinik
Gangguan organ    Gambaran klinis
Kardiovaskuler    Tekanan darah sistolik < 40 mmHg
    Denyut jantung < 50 atau > 220/menit
    Terjadi henti jantung
    pH darah < 7,2 pada PaCO2 normal
    Kebutuhan akan inotropik untuk mempertahankan tekanan darah normal
Saluran nafas    Frekw nafas > 90/menit
    PaCO2 > 65 mmHg
    PaO2 < 40 mmHg
    Memerlukan ventilasi mekanik
    FiO2 < 200 tanpa kelainan jantung sianotik
Sistem hematologik    Hb < 5 g/dl
    WBC < 3000 sel/mm³
    Trombosit < 20000
    D-dimer > 0,5 ug/ml pada PTT > 20 detik atau waktu tromboplastin > 60 detik
SSP    Kesadaran menurun disertai dilatasi pupil
Gangguan ginjal    Ureum > 100 mg/dL
    Creatinin > 20 mg/dL
Gastroenterologi    Perdarahan GI disertai dengan penurunan Hb > 2 g%, hipotensi, perlu tranfusi darah atau operasi GI
Hepar    Bilirubin total > 3 mg%

    Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan komponen darah , C- Reactive Protein (CRP) dan pemeriksaan biomolekuler.
(Buku Ajar Neonatologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008)
c.    Penatalaksanaan
     Diberikan kombinasi antibiotika golongan Ampisilin dosis 200 mg/kg BB/24 jam i.v  (dibagi 2 dosis untuk neonatus umur < 7 hari, untuk neonatus umur > 7 hari dibagi 3 dosis), dan Netylmycin (Amino glikosida) dosis 7 1/2 mg/kg BB/per hari i.m/i.v dibagi 2 dosis (hati-hati penggunaan Netylmycin dan Aminoglikosida yang lain bila diberikan i.v harus diencerkan dan waktu pemberian sampai 1 jam pelan-pelan).
     Dilakukan septic work up sebelum antibiotika diberikan (darah lengkap, urine, lengkap, feses lengkap, kultur darah, cairan serebrospinal, urine dan feses (atas indikasi), pungsi lumbal dengan analisa cairan serebrospinal (jumlah sel, kimia, pengecatan Gram), foto polos dada, pemeriksaan CRP kuantitatif).
     Pemeriksaan lain tergantung indikasi seperti pemeriksaan bilirubin, gula darah, analisa gas darah, foto abdomen, USG kepala dan lain-lain.
     Apabila gejala klinik dan pemeriksaan ulang tidak menunjukkan infeksi, pemeriksaan darah dan CRP normal, dan kultur darah negatif maka antibiotika diberhentikan pada hari ke-7.
     Apabila gejala klinik memburuk dan atau hasil laboratorium menyokong infeksi, CRP tetap abnormal, maka diberikan Cefepim 100 mg/kg/hari diberikan 2 dosis atau Meropenem dengan dosis 30-40 mg/kg BB/per hari i.v dan Amikasin dengan dosis 15 mg/kg BB/per hari i.v i.m (atas indikasi khusus). Pemberian antibiotika diteruskan sesuai dengan tes kepekaannya. Lama pemberian antibiotika 10-14 hari. Pada kasus meningitis pemberian antibiotika minimal 21 hari.
     Pengobatan suportif meliputi :
Termoregulasi, terapi oksigen/ventilasi mekanik, terapi syok, koreksi metabolik asidosis, terapi hipoglikemi/hiperglikemi, transfusi darah, plasma, trombosit, terapi kejang, transfusi tukar.
(www.pediatrik.com)
d.    Pencegahan
    Cara umum
    Harus sudah dimulai pada periode antenatal. Infeksi ibu harus diobati dgn baik, dikamar bersalin harus ada pemisahan yg sempurna antara bagian yg septik dan yg aseptik. Ibu yg akan melahirkan sebelum masuk kamar bersalin harus dimandikan dulu dan memakai baju khusus untuk kamar bersalin. Suasana kamar bersalin harus sama dgn kamar operasi. Alat resusitasi harus steril.
    Dibangsal bayi baru lahir harus ada pemisahan yg sempurna untuk bayi yg lahir dgn partus aseptik dan partus septik. Pemisahan ini harus mencakup personalia, fasilitas perawatan, dan alat yg digunakan. Harus terdapat kamar isolasi untuk bayi yg menderita penyakit menular. Sebelum dan sesudah memegang bayi harus cuci tangan yg sebaiknya dgn sabun antseptik atau sabun biasa dgn waktu cukup lama (1 menit). Dalam ruangan harus memakai jubah staril, maske, dan memakai sandal khusus. Dalam ruangan bayi tidak boleh banyak bicara. Bial menderita enyakit saluran nafas atas tidak boleh masuk kaar bayi.
    Dapur susu harus bersih dan cara mencampur susu harus aseptik. ASI yg dipompa sebelum diberikan bayi harus dipasteurisasi. Setiap bayi harus mempunyai tempat pakian sendiri, begitu pula termometer, obat, kasa, dll. Inkubator harus selalu dibersihkan dan lantai ruangan setiap hari hrs dibersihkan dan setiap minggu dicuci dgn mengg antiseptikum.
    Cara khusus
    Pemakaian antibiotika hanya untuk tujuan dan indikasi yg jelas
    Bila kemampuan pengawasan klinis dan laboratorium cukup baik, sebaiknya tidak perlu memberikan antibiotika profilaksis. Anibiotika baru diberikan kalau sudah terdapat tanda infeksi.
    Bila kemampuan tersebut tidak ada, kiranya dapat dipertanggungjawabkan pemberian antibiotika profilaksis berupa ampisillin 100 mg/kgbb/hari dan gentamissin 3-5 mg/kgbb/hari selama 3-5 hari.
(Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 3, FKUI, 1985)

e.    Prognosis
Pada umumnya angka kematian sepsos neonatal berkisar antara 10-40%.Tinggi rendahnya angka kematian tergantung dari waktu timbulnya penyakit,penyebabnya,besar-kecilnya bayi,beratnya penyakit,dan tempat perawatannnya.
( IKA,FKUI 2008)

f.    Komplikasi
o    Sepsis
o    Hepatosplenomegali

STEP 7  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails