· Definisi
Suatu keadaan patofisiologi dimana jantung tidak mampu memompakan darah untuk mempertahankan kebutuhan metabolisme jaringan atau mampu memenuhi metabolisme jaringan tetapi pada tekanan pengisian yang meningkat.
(hipertensi sindrom koroner akut dan gagal jantung, balai penerbit rumah sakit jantung harapan kita)
Gagal jantung adalah kondisi dimana jantung tidak dapat memompa darah dalam jumlah cukup untuk kebutuhan metabolism jaringan atau dapat memenuhi kebutuhan tersebut hanya apabila terjadi peningkatan filling pressure yang abnormal.
Sumber :pina l.l…Goldstein S.,Dunlap M,The year in Heart Failure.Volume I.2005.clinical Publishing.Oxford
· Etiologi
Penyebab gagal jantung
§ Peningkatan kebutuhan aliran darah
§ Peningkatan rintangan aliran
§ Penurunan kapasitas kerja jantung
(Farmakologi dan Terapi, FKUI)
Ø Peningkatan berlebihan pengisian ventrikel disebut preload
Misalnya : regurgitasi atrial ,mitral,trikuspidal
Ø Peningkatan berlebihan beban tekanan ventrikel disebut afterload
Stenosis aorta ,stenosis pulmonal ,kardiomiopati hipertrofik obstruksi,hipertensi,coartasio aorta
Ø Disfungsi miokard (sistolik diastolik)
Ø Gangguan pengisian ventrikel (penurunan pengisian ventrikel) Misalnya : stenosis mitral ,tamponade jantung
Ø Peningkatan beban metabolik
Sumber :pina l.l…Goldstein S.,Dunlap M,The year in Heart Failure.Volume I.2005.clinical Publishing.Oxford
Factor pencetus
· Peningkatan preload misalnya pd reguritasi mitral, regurgitasi atrial, regurgitasi trikuspidal
· Penurunan ventrikel stenosis mitral, tamponade jantung
· Kelemahan otot janung misalnya pada infark miokard, kardiomiopati kongestik, penurunan kemampuan mengemban ventrikel jantung misalny paada hipeertropi ventrilkel kiri , amiloidosis, kardiomiopati hipertropik,
· Peningkatan afterload misalnya pada hipertensi, koarktasio aorta, stenosis aorta, stenosis pulmonal, kardiomiopati hipertropik dgn obstreuksi
· Hilangnya peran sistolik atrium misalnya pada fibrilasi atrium, pacu jantung
Sumber :(IPD FKUI)
· Factor resiko
· Klasifikasi
- Gagal jantung backward dan forward
Hipotesis backward failure
Apabila ventrikel gagal untuk memompakan darah maka darah akan terbendung dan tekanan di atrium serta vena-vena di belakangnya akan naik.
Hipotesis forward failure
Manifestasi gagal jantung timbul akibat berkuranganya aliran darah (cardiac output) ke sistem arterial sehingga terjadi pengurangan perfusi pada organ-organ yang vital dengan segala aktivitasnya.
Kedua hipotesis tsb saling melengkapi serta menjadi dasar patofisiologi gagal jantung : Kalau ventrikel gagal mengosongkan darah maka menurut hipotesis backward failure adalah :
§ Isi dan tekanan (volume dan pressure) pada akhir fase diastolik (end-diastolik pressure) meninggi.
§ Isi dan tekanan akan meninggi pada atrium di ventrikel yang gagal.
§ Atrium ini akan bekerja lebih keras (sesuai hukum Frank-Starling)
§ Tekanan pada vena dan kapiler di belakang ventrikel yang gagal akan meninggi.
§ Terjadi transudasi (lewatnya serum atau cairan tubuh lain melalui pembuluh darah sebagai hasil dari gaya hidrodinamik,mungkin akibat peradangan) pada jaringan intersisial (baik pulmonal maupun sistemik).
Akibat berkurangnya curah jantung serta aliran darah pada jaringan atau organ yang menyebabkan menurunnya perfusi (terutama pada ginjal dengan melalui mekanisme yang rumit) yang akan mengakibatkan retensi garam dan cairan serta memperberat ekstravasasi (keluarnya darah atau cairan lain yang dalam keadaan normal berada dalam pembuluh atau tabung ke dalam jaringan sekitarnya) cairan yang sudah terjadi. Selanjutnya terjadi gejala gagal jantung kongestif sebagai akibat bendungan jaringan dan organ. Kedua jenis kegagalan ini jarang bisa dibedakan secara tegas, karena pada kenyataannya kalau gagal jantung kongestif kedua mekanisme ini berperan kecuali pada gagal jantung yang terjadinya secara mendadak. Contoh forward failure : gagal ventrikel kanan akut yang terjadi akibat emboli paru yang pasif karena terjadinya peninggian isi dan tekanan pada ventrikel kanan serta tekanan pada atrium kanan dan pembuluh darah balik sistemik, tetapi pasien sudah meninggal sebelum terjadi extravasasi cairan yang menimbulkan kongesti pada vena-vena sistemik. Backward failure dan forward failure dapat terjadi pada infark jantung yang luas.
Forward failure terjadi akibat berkurangnya output ventrikel kiri dan renjatan kardiogenik yang akan menimbulkan manifestasi berkurangnya perfusi jaringan atau organ. Sedangkan backward failure terjadi karena adanya output yang tidak sama antara kedua ventrikel yang meskipun bersifat sementara berakibat terjadinya edema paru yang akut.
- Gagal jantung right sided dan left sided
Adanya cairan bendungan di belakang ventrikel yang gagal merupakan pertanda gagal jantung pada sisi mana yang terkena. Adanya kongesti pulmonal pada infark ventrikel kiri, hipertensi dan kelainan-kelainan pada katup aorta serta mitral menunjukkan gagal jantung kiri (left heart failure).
Apabila keadaan ini berlangsung cukup lama cairan yang terbendung akan berakumulasi secara sistemik : di kaki, asites, hepatomegali, efusi pleura, dll, menjadikan gambaran klinisnya sebagai gagal jantung kanan (right heart failure).
- Gagal jantung low output dan high output
Gagal jantung golongan ini menunjukkan bagaimana keadaan curah jantung (tinggi atau rendahnya) sebagai penyebab terjadinya manifestasi klinis gagal jantung. Curah jantung yang rendah pada penyakit jantung apa pun (bawaan, hipertensi, katup, koroner, kardiomiopati) dapat menimbulkan low-output failure. Sedangkan pada penyakit-penyakit dengan curah jantung ayng tinggi misalnya pada tirotoksikosis, beri-beri, paget’s, anemia, dan fistula arteri-vena, gagal jantung yang terjadi dinamakan high-output failure.
- Gagal jantung akut dan menahun
Manifestasi klinis gagaljantung di sini hanya menunjukkan saat atau lamanya gagal jantung berlangsung. Apabila terjadi mendadak, misalnya pada infark jantung akut yang luas dinamakan gagal jantung akut (biasanya sebagai gagal jantung kiri akut). Sedangkan pada penyakit-penyakit jantung katup, kardiomiopati, atau gagal jantung akibat infark jantung lama, terjadinya gagal jantung secara perlahan atau karena gagal jantungnya bertahan lama dengan pengobatan yang diberikan dinamakan gagal jantung menahun.
- Gagal jantung sistolik dan diastolik
Apabila gagal jantung yang terjadi sebagi akibat abnormalitas fungsi sistolik yaitu ketidakmampuan mengeluarkan darah dari ventrikel dinamakan gagal jantung sistolik. Jenis gagal jantung ini adalah yang paling klasik dan paling dikenal sehari-hari, penyebabnya adalh gangguan kemampuan inotropik (mempengaruhi daya atau energi kontraksi otot) miokard. Sedangkan apabila abnormalitas kerja jntung pada fase diastolik yaitu kemampuan pengisisan darah pada ventrikel (terutama ventrikel kiri) , misalnya pada iskemia jantung yang mendadak, hipertrofi konsentrik ventrikel kiri dan kardiomiopati restriktif, gagal jantung yang terjadi dinamakan gagl jantung diastolik. Tanda yang paling nyata pada gagal jantung di sini adalah fungsi sistolik ventrikel kiri biasanya normal (terutama dengan pengukuran ejection fraction misalnya dnegan pemeriksaan ekokardiografi).
Sumber : (IPD, FKUI)
· Gambaran klinis
a. Kriteria mayor
- dispnea nokturnal paroksimal atau ortopnea
- peningkatan tekanan vena jugularis
- ronki basah tidak nyaring
- kardiomegali
- edema paru akut
- irama derap S3
- peningkatan tekanan vena > 16 cmH2O
- refluks hepatojugular
b. Kriteria minor
- edema pergelangan kaki
- batuk malam hari
- dyspneu d’effort
- hepatomegali
- efusi pleura
- kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum
- takikardi (>120 x/menit)
c. Kriteria mayor atau minor
Penurunan berat badan >4,5 kg dalam 5 hari setelah terapi
Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor harus ada pada saat bersamaan.
(kapita selekta kedokteran ed 3 jilid 1)
· Patogenesis
·
Gambar 1. Patogenesis gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun.
Gagal jantung bermula setelah kejadian penanda menghasilkan penurunan awal pada kapasitas pompa jantung. Akibat terjadinya penurunan kapasitas ini, berbagai mekanisme kompensasi terjadi, termasuk sistem saraf adrenergic, sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan sistem sitokin. Dalam jangka pendek, sistem ini dapat mengembalikan fungsi kardiovaskuler ke derajat homeostatik yang normal dan menyebabkan tidak adanya gejala pada pasien (asimptomatis). Namun, seiring dengan waktu aktivasi sistem kompensasi yang berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan organ dalam ventrikel, disertai dengan remodelling pada ventrikel kiri yang memburuk, dan pada akhirnya dekompensasi kardiak.
"Heart Failure" dalam Harrison's Principles of Internal Medicine 17 ed by Husnul Mubarak,S.Ked
· Patofisiologi
Menurut Laksono S (2009), ada beberapa mekanisme patofisiologi gagal jantung:
1. Mekanisme neurohormonal
1. Mekanisme neurohormonal
Pengaturan neurohormonal melibatkan sistem saraf adrenergik (aktivasi sistem saraf simpatis akan meningkatkan kadar norepinefrin), sistem renin-angiotensin, stres oksidatif (peningkatan kadar ROS/reactive oxygen species), arginin vasopressin (meningkat), natriuretic peptides, endothelin, neuropeptide Y, urotensin II, nitric oxide, bradikinin, adrenomedullin (meningkat), dan apelin (menurun).
2. Remodeling ventrikel kiri
Remodeling ventrikel kiri yang progresif berhubungan langsung dengan memburuknya kemampuan ventrikel di kemudian hari.
3. Perubahan biologis pada miosit jantung
Terjadi hipertrofi miosit jantung, perubahan komplek kontraksi-eksitasi, perubahan miokard, nekrosis, apoptosis, autofagi.
4. Perubahan struktur ventrikel kiri
Perubahan ini membuat jantung membesar, mengubah bentuk jantung menjadi lebih sferis mengakibatkan ventrikel membutuhkan energi lebih banyak, sehingga terjadi peningkatan dilatasi ventrikel kiri, penurunan cardiac output, dan peningkatan hemodynamic overloading.
Patogenesis Gagal Jantung Kongestif
Patogenesis Gagal Jantung Kongestif
§ Gangguan katup jantung à aliran darah jantung terganggu à gangguan pengisisan darah ventrikel à gangguan kontraksi ventrikel à gagal jantung
§ Hipertensi à penyempitan pembuluh darah jantung à aliran darah ke jantung berkurang à hipoksia miokard à ischemia miokard à gangguan kontraksi ventrikeL à gagal jantung
§ Kelemahan miokard à kontraksi ventrikel melemah à gagal jantung
§ Sindrom Koroner Akut( SKA) à arteriosklerosis à arteri koronaria à hipoksia miokard à ischemia miokard à gangguan kontraksi ventikel à gagal jantung
§ CPC à hipertensi pulmonal à Aliran darah balik ke ventrikel kanan à ventrikel kanan bekerja lebih keras à hipertrofi
Factor presipitasinya (pencetus)?
Yang merupakan faktor pencetus gagal jantung antara lain: meningkatnya asupan (intake) garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infak miokard akut, hipertensi, aritmia akut, infeksi, demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, dan endokarditis infektif.
Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, edisi 3, jilid I, 1999
Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, edisi 3, jilid I, 1999
· Diagnosis
Anamnesis:
KU: sesak napas, kualitas, kuantitas,
sesak dipengaruhi posisi tbh? aktifitas?
KP: batuk dahak? Encer/kental? Warna? Darah? Warna darah?
Gejala kardinal dari HF adalah kelemahan dan sesak napas. Walaupun mudah lelah dahulunya dianggap akibat kardiak output yang rendah pada HF, sepertinya abnormalitas otot skeletal dan komorbiditas non-kardiak lainnya (mis. anemia) juga berkontribusi terhadap gejala ini. Pada tahap HF yang dini, sesak napas dialami pada saat beraktivitas berat (dyspneu d’effort); namun semakin penyakit ini berkembang, sesak napas juga dialami pada aktivitas ringan, dan pada akhirnya bahkan pada saat beristirahat. Banyak faktor yang menyebabkan sesak napas pada HF. Mekanisme paling penting adalah kongesti pulmoner dengan adanya akumulasi dari cairan interstitial atau intraalveolar, yang mengaktivasi reseptor juxtacapillary J, yang akan menstimulasi pernapasan cepat dan dangkal yang khas untuk sesak napas kausa penyakit jantung. Faktor lain yang berperan terhadap terjadinya sesak napas pada saat beraktivitas berat adalah menurunnya komplians pulmoner, peningkatan resistensi saluran napas, kelemahan otot napas atau/dan diaphragma, dan anemia. Sesak napas dapat menjadi lebih jarang dengan adanya onset kegagalan ventrikuler kanan dan regurgitasi tricuspid.
Orthopnea
Orthopnea, yang didefinisikan sebagai sesak napas yang terjadi pada posisi berbaring, biasanya merupakan manifestasi lanjut dari HF dibandingkan dyspneu d’effort. Hal ini terjadi akibat redistribusi dari cairan dari sirkulasi splanchnik dan ektremitas bawah kedalam sirkulasi pusat selama berbaring, disertai dengan peningkatan tekanan kapiler pulmoner. Batuk nocturnal (batuk yang dialami pada malam hari) merupakan gejala yang sering terjadi pada proses ini dan seringkali menyamarkan gejala HF yang lain. Orthopneu umumnya meringan setelah duduk tegak atau berbaring dengan lebih dari 1 bantal. Walaupun orthopneu biasanya merupakan gejala yang relative spesifik pada HF, ini dapat pula juga terjadi pada pasien dengan obesitas abdominal atau asites dan pasien dengan penyakit pulmoner dimana mekanisme pernapasan membutuhkan posisi tegak.
Istilah ini berarti adanya episode akut dari sesak napas yang berat dan batuk yang biasanya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidur, biasanya 1-3 jam setelah pasien tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk-batuk atau wheezing, kemungkinan karena peningkatan tekanan pada arteri bronchial menyebabkan kompresi saluran udara, disertai dengan edema pulmoner interstitial yang meyebabkan peningkatan resistensi saluran udara. Diketahui bahwa orthopnea dapat meringan setelah duduk tegak, sedangkan pasien PND seringkali mengalami batuk dan wheezing yang persisten walaupun mereka mengaku telah duduk tegak. Cardiac asthma sepertinya berhubungan dekat dengan PND, ditandai dengan adanya wheezing akibat bronchospasme, dan harus dapat dibedakan dengan asma primer dan penyebab pulmoner lainnya yang menimbulkan wheezing. tom of HF, it may occur in patients with abdominal obesity or ascites and in patients with pulmonary disease whose lung mechanics favor an upright posture.
Juga disebut sebagai pernapasan periodic atau pernapasan siklik, pernapasan Cheyne-Stokes umum terjadi pada HF berat dan biasanya berkaitan dengan rendahnya kardiak ouput. Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitivitas pada pusat respirasi terhadap tekanan PCO2. Terdapat fase apneu, dimana terjadi pada saat penurunan PO2 arterial dan PCO2 arterial meningkat. Hal ini merubah komposisi gas darah arterial dan memicu depresi pusat pernapasan, mengakibatkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti rekurensi fase apnea. Pernapasan Cheyne-Stokes dapat dipersepsi oleh keluarga pasien sebagai sesak napas parah (berat) atau napas berhenti sementara.
Edema Pulmoner akut biasanya timbul dengan onset sesak napas pada istirahat, tachynepa, tachycardia, dan hypoxemia berat. Rales dan wheezing akibat kompresi saluran udara dari perbronchial cuffing dapat terdengar. Hipertensi biasanya terjadi akibat pelepasan cathecolamine endogenous.
Kadang kala sulit untuk membedakan penyebab noncardiac atau cardiac pada edema paru akut. Echocardiography dapat mengidentifikasi disfungsi ventrikel sistolik dan diastolik dan lesi katup. Edema pulmoner terkait dengan ST elevasi dan Q wave yang berubah yang biasanya diagnostic untuk infark myokard dan sebaiknya dilakukan protocol infark myokard dengan segera dan terapi reperfusi arteri koroner. Kadar brain natriuretic peptide, jika meningkat secara bermakna, mendukung gagal jantung sebagai etiologi sesak napas akut dengan edema pulmoner.
Gejala Lainnya
· Pasien dengan HF dapat pula datang dengan keluhan gastrointestinal. Anorexia, nausea, dan perasaan penuh yang berkaitan dengan nyeri abdominal merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan dapat berkaitan dengan edema pada dinding usus dan/atau kongesti hepar dan regangan kapsulnya yang dapat mengakibatkan nyeri pada kuadran kanan atas. Gejala serebral, seperti disorientasi, gangguan tidur dan mood, dapat pula diamati pada pasien dengan HF berat, terutama pasien lanjut usia dengan arteriosclerosis serebral dan perfusi serebral yang menurun. Nocturia umum terjadi pada HF dan dapat berperan dalam insomnia.
"Heart Failure" dalam Harrison's Principles of Internal Medicine 17 ed by Husnul Mubarak,S.Ked
PF (bedakan kiri dan kanan): inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi
Penunjang: rontgen
Criteria mayor minor (Framingham)?
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk menegakkan diagnosis gagal jantung kongestif.
Kriteria mayor:
Kriteria mayor:
1. Paroxismal Nocturnal Dispneu
2. Distensi vena leher
3. Ronkhi paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekanan vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria minor:
1. Edema ekstremita
2. Batuk malam hari
3. Dispneu de effort: sesak napas dialami pada saat beraktivitas berat
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Takikardi
7. Penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal
Kriteria mayor atau minor
Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari setelah terapi
Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 1 kriteria minor harus ada pada saat yang bersamaan.
IPD, edisi IV, jilid III
· Pemeriksaan fisik
Didapatkan adanya distensi vena jugularis, S3, kongesti pulmoner (ronchi, effusi pleura, edema perifer, hepatomegali, dan ascites)
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan foto toraks
Mengarah ke kardiomegali, corakan vaskular paru menggambarkan kranialisasi, garis Kerley A/B, infiltrat prekordial kedua paru, effusi pleura.
2. Elektrokardiografi
Gangguan irama, iskemia, infark miokard, adanya hipertrofi vena pulmonalis
3. Laboratorium
Hitung darah dapat menunjukkan anemia. Pemeriksaan biokimia menunjukkan insufisiensi ginjal sbg faktor penyulit. Elektrolit dapat membantu mengungkapkan aktivitas neuroendokrin yang menyebabkan hiponatremia
4. Ekokardiografi
Menunjukkan adanya penurunan cardiac output (CO), pembesaran pada ruang-ruang jantung, adanya penurunan kontraktilitas dan adanya penurunan fraksi terpompa, mendeteksi fusi perikardium, abnormalitas katup, pirau intrakardial, abnormalitas gerakan dinding segmental yang menunjukkan adanya infark miokard
5. Kateterasi jantung
Kateterasi pada jantung kiri untuk menentukan adanya penyakit arteri koroner sekaligus luas yang terkena. Kateterasi jantung kanan berguna untuk menyeleksi dan memonitor terapi jika pasien refrakter terhadap terapi standar
6. Angiografi radionuklir
Mengukur fraksi ejeksi ventrikel kiri dan memungkinkan adanya analisis gerakan dinding regional
7. Urine
Didapatkan pada penderita gagal jantung, jumlah urine yang dihasilkan lebih sedikit atau berkurang sekitar 25-40 % dari jumlah normal.
(kapita selekta kedokteran ed 3 jilid 1 dan diagnosis dan terapi kedokteran penyakit dalam)
· Penatalaksanaan
Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditujukan pada 5 aspek yaitu :
1. Mengurangi beban kerja
2. Memperkuat kontraktilitas miokard
3. Mengurangi kelebihan cairan dan garam
4. Melakukan tindakan dan pengobatan khusus terhadap penyebab, faktor-faktor pencetus dan kelainan yang mendasari.
o Non Farmakologik
- Aktivitas
Walaupun aktivitas fisik berat tidak dianjurkan pada HF, suatu latihan rutin ringan terbukti bermanfaat pada pasien HF dengan NYHA kelas I-III. Pasien euvolemik sebaiknya didorong untuk melakukan latihan rutin isotonic seperti jalan atau mengayuh sepeda ergometer statis, yang dapat ditoleransi. Beberapa penelitian mengenai latihan fisik memberikan hasil yang positif dengan berkurangnya gejala, meningkatkan kapasitas latihan, dan memperbaiki kualitas dan durasi kehidupan. Manfaat pengurangan berat badan dengan restriksi intake kalori belum diketahui secara jelas.
- Diet
Diet rendah garam (2-3 g per hari) dianjurkan pada semua pasien HF (baik dengan penurunan EF maupun EF yang normal).
"Heart Failure" dalam Harrison's Principles of Internal Medicine 17 ed by Husnul Mubarak,S.Ked
o Farmakologik
- Diuretik
Kebanyakan dari manifestasi klinik HF sedang hingga berat diakibatkan oleh retensi cairan yang menyebabkan ekspansi volume dan gejala kongestif. Diuretik (Tabel 4) adalah satu-satunya agen farmakologik yang dapat mengendalikan retensi cairan pada HF berat, dan sebaiknya digunakan untuk mengembalikan dan menjaga status volume pada pasien dengan gejala kongestif (sesak napas, orthopnea, dan edema) atau tanda peningkatan tekanan pengisian (rales, distensi vena jugularis, edema perifer). Furosemide, torsemide, dan bumetanide bekerja pada loop of Henle (loop diuretics) dengan menginhibisi reabsorbsi Na+, K+,dan Cl – pada bagian asendens pada loop of henle; thiazide dan metolazone mengurangi reabsorbsi Na+ dan Cl- pada bagian awal tubulus kontortus distal, dan diuretic hemat kalium seperti spironolakton bekerja pada tingkat duktus koligens.
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Dosis harus disesuaikan hingga mengurangi gejela kongestif pada pasien
Walaupun semua diuretic meningkatkan eksresi sodium dan volume urin, diuretic memiliki potensi dan famakologik yang beragam. Loop diuretic meningkatkan eksresi fraksional sodium hingga 20-25%, sedangkan thiazide hanya 5-10% dan cenderung berkurang efektivitasnya pada pasien dengan insufisiensi renal moderat atau berat (creatinin ?2. mg/dl). Sehingga, loop diuretic biasanya dibutuhkan untuk mengembalikan status volume pasien HF. Diuretik sebaiknya dimulai dengan dosis rendah (Tabel 4) dan kemudian ditingkatkan secara perlahan lahan untuk meringankan tanda dan gejala overload cairan. Hal ini biasanya membutuhkan penyesuaian dosis berulang selama beberapa hari pada pasien dengan overload cairan berat. Pemberian intravena dapat penting untuk meringankan kongesti akut dan aman digunakan pada keadaan rawat jalan. Setelah gejala kongesti diringankan, pemberian diuretic sebaiknya tetap dilanjutkan untuk menghindari rekurensi dari retensi air dan garam
Diuretik memiliki potensi untuk menyebabkan berkurangnya volume dan elektrolit, begitu pula dengan memperburuk azotemia. Sebagai tambahan, diuretik dapat memperburuk aktivasi neurohormonal dan progresi penyakit. Satu efek samping diuretik yang paling penting adalah perubahan homeostatis potassium (hipokalemia atau hyperkalmei), yang akan meningkatkan resiko arrhythmia. Pada umumnya, baik loop diuretik maupun thiazid dapat menyebabkan hypokalemia, sedangkan spironolacton, eplerenone, dan triamterene menyebabkan hyperkalemia.
Terdapat banyak bukti yang menyatakan bahwa ACE inhibitor sebaiknya digunakan pada pasien simptomatis dan asimptomatis dengan EF menurun. ACE inhibitor mempengaruhi sistem rennin-angiotensin dengan menginhibisi enzyme yang berperan terhadap konversi angiotensin menjadi angiotensin II. Tidak hanya itu, karena ACE inhibitor (ACEI) juga dapat menghambat kininase II, sehingga dapat mengakibatkan peningkatan bradykinin, yang akan meningkatkan efek bermanfaat dari supresi angiotensin. ACEI menstabilkan LV remodeling, meringankan gejala, mengurangi kemungkinan opname, dan memperpanjang harapan hidup. Karena retensi cairan dapat menurunkan efek ACEI, dianjurkan untuk diberikan diuretic sebelum memulai terapi ACEI. Akan tetapi, penting untuk mengurangi dosis diuretic selama awal pemberian ACEI dengan tujuan mengurangi kemungkinan hipotensi simptomatik. ACEI sebaiknya dimulai dengan dosis rendah, diikuti dengan peningkatan dosis secara bertahap jika dosis rendah dapat ditoleransi.
Gambar 3. Algoritme penatalaksanaan Gagal Jantung Kronis pada pasien dengan penurunan fraksi ejeksi.
Setelah diagnosis klinis HF ditegakkan, penting untuk menangani retensi cairan sebelum memulai terapi ACEI (atau ARB jika pasien intoleran terhadap ACEI). Βeta-blocker sebaiknya dilakukan jika retensi cairan telah ditangani dan/atau dosis ACEI telah ditingkatkan. Jika pasien masih bergejala, ARB, antagonis aldosteron, atau digoxin dapat diberikan sebagai “triple therapy”. Terapi alat sebaiknya dipertimbangkan dengan pemberian farmakologik yang tepat pada pasien. ACEI, angiotensin-converting enzyme inhibitor; ARB, angiotensin receptor blocker; NYHA, New York Heart Association; CRT, cardiac resynchronization therapy; ICD, implantable cardiac defibrillator.
Efek samping yang kebanyakan terjadi berkaitan dengan supresi sistem renin angiotensin. Penurunan tekanan darah dan azotemia ringan dapat terjadi selama pemberian terapi dan biasanya ditoleransi dengan baik sehingga dosis tidak perlu diturunkan. Akan tetapi, jika hipotensi diikuti dengan rasa pusing atau disfungsi renal menjadi lebih berat, maka penting untuk menurunkan dosisnya. Pada retensi potassium yang tidak berespon dengan diuretic, dosis ACE juga perlu diturunkan.
- Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Obat ini ditoleransi dengan baik pada pasien yang tidak dapat diberikan ACE karena batuk, rash kulit, dan angioedema. Walaupun ACEI dan ARB menghambat sistem rennin-angiotensin, kedua golongan obat ini bekerja dalam mekanisme yang berbeda. ACEI memblokir enzim yang berperan dalam mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II, ARB memblokir efek angiotensin II pada reseptor angiotensin tipe I. Beberapa penelitian klinik menunjukkan manfaat terapeutik dari penambahan ARB pada terapi ACEI pada pasien HF kronis.
Baik ACE inhibitor maupun ARBs memiliki efek serupa terhadap tekanan darah, fungsi ginjal, dan potassium. Sehingga efek samping kedua obat tersebut serupa pula.
- β-Adrenergic Receptor Blockers
Terapi Beta blocker menunjukkan kemajuan utama dalam penanganan pasien dengan penurunan EF. Obat ini mempengaruhi efek berbahaya dari aktivasi sistem adrenergic yang berkepanjangan dengan secara kompetitif memblokir satu atau lebih reseptor adrenergik (α1, β1, and β2). Walaupun terdapat manfaat potensial dalam memblokir tiga reseptor ini, kebanyakan efek penurunan aktivasi adrenergic dimediasi oleh reseptor β1. Jika diberikan bersamaan dengan ACEI, beta blocker menghambat proses LV remodeling, meringankan gejala pasien, mencegah opname, dan memperpanjang harapan hidup. Maka dari itu beta blocker diindikasikan pada pasien HF simptomatik atau asimptomatik dengan EF menurun (<40%)>
Seperti dengan pemakaian ACEI, beta blocker juga sebaiknya dimulai dalam dosis rendah, diikuti dengan peningkatan dosis secara gradual jika dosis rendah telah dapat ditoleransi. Dosis beta blocker sebaiknya ditingkatkan hingga dosis yang terbukti efektif pada suatu penelitian klinis (Tabel 4). Namun, tidak seperti ACEI, dimana dapat ditingkatkan secara cepat, penyesuaian dosis beta blocker sebaiknya tidak lebih cepat dari interval 2 minggu, karena dosis inisiasi dan/atau peningkatan dosis agen ini dapat memperburuk retensi cairan akibat berkurangnya dukungan adrenergic pada jantung dan sirkulasi. Maka dari itu, penting untuk mengoptimalkan dosis diuretic sebelum memulai terapi beta blocker. Peningkatan retensi cairan biasanya dapat diatasi dengan penambahan dosis diuretic. Pada beberapa pasien, dosis beta blocker perlu diturunkan.
Efek samping dari beta bloker biasanya terkait dengan komplikasi yang timbul dari penurunan sistem saraf adrenergic. Reaksi ini umumnya terjadi beberapa hari setelah permulaan terapi dan biasanya responsive setelah dosis dikurangi. Terapi betabloker dapat menyebabkan bradykardia dan/atau eksaserbasi heart block. Maka dari itu, dosis beta blocker sebaiknya diturunkan jika heart rate menurun hingga <50>1 receptor yang dapat mengakibatkan efek vasodilatasi.
- Antagonis Aldosteron
Walaupun dikategorikan sebagai diuretic hemat kalium, obat yang memblokir efek aldosteron (spironolakton atau eplerenon) memiliki efek bermanfaat yang independent dari efek keseimbangan sodium. Walaupun ACEI dapat menurunkan sekresi aldosteron secara transient, dengan terapi jangka panjang, kadar aldosteron akan kembali seperti sebelum terapi ACEI dilakukan. Maka dari itu, pemberian antagonis aldosteron dianjurkan pada pasien dengan NYHA kelas III atau kelas IV yang memiliki EF yang menurun (<35%)>
Permasalahan utama pemberian antagonis aldosteron adalah peningkatan resiko hyperkalemia, dimana lebih cenderung terjadi pada pasien yang menerima terapi suplemen potassium atau mengalami insufisiensi renal sebelumnya. Antagonis aldosteron tidak direkomendasikan jika kreatinin serum >2.5 mg/dL (atau klirens kreatinin <30>5.0 mmol/L.
o Terapi Antikoagulan dan Antiplatelet
Pasien HF memiliki peningkatan resiko terjadinya kejadian thromboembolik. Pada penilitan klinis, angka kejadian stroke mulai dari 1,3 hingga 2,4% per tahun. Penurunan fungsi LV dipercaya mengakibatkan relative statisnya darah pada ruang kardiak yang berdilatasi dengan peningkatan resiko pembentukan thrombus. Penatalaksanaan dengan warfarin dianjurkan pada pasien dengan HF, fibrilasi atrial paroxysmal, atau dengan riwayat emboli sistemik atau pulmoner, termasuk stroke atau transient ischemic attack (TIA). Pasien dengan iskemik kardiomyopati simptomatik atau asimptomatik dan memiliki riwayat Infark Miokard dengan adanya thrombus LV sebaiknya diatasi dengan warfarin dengan permulaan 3 bulan setelah Infark Miokard, kecuali terdapat kontraindikasi terhadap pemakaiannya.
Aspirin direkomendasikan pada pasien HF dengan penyakit jantung iskemik untuk menghindari terjadinya MI dan kematian. Namun, dosis rendah aspirin (75 atau 81 mg) dapat dipilih karena kemungkinan memburuknya HF pada dosis lebih tinggi.
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
aBiasanya <4>
Penatalaksanaan Farmakologik untuk HF Akut
Selain diuretic, vasodilator intravena adalah pengobatan paling berguna untuk HF akut. Dengan menstimulasi guanylyl cyclase dalam sel otot halus; nitroglycerin, nitroprusside, dan nesiritida menghasilkan efek dilatasi pada resistensi arterial dan venous capacity pada pembuluh darah, sehingga menurunkan tekanan pengisian LV, penurunan mitral regurgitasi, dan memperbaiki cardiac output, tanpa meningkatkan heart rate atau menyebabkan arrhythmia.
Nitroglycerin intravena biasanya dimulai pada dosis 20 µg/menit dan ditingkatkan hingga 20 µg sampai gejala pasien meringan atau PCWP menurun hingga 16 mmHg tanpa menurunkan tekanan darah sistolik dibawah 80 mmHg. Efek samping yang paling sering terjadi dari nitrat oral dan intravena adalah sakit kepala, dimana, jika ringan, dapat diatasi dengan analgesik dan sering berkurang seiring dengan perlangsungan terapi.
Nitroprusside biasanya dimulai dengan dosis 10 µg/menit dan ditingkatkan 10-20 µg tiap 10–20 menit jika ditoleransi, dengan tujuan hemodinamika yang sama dengan yang telah dijelaskan diatas. Kecepatan dari onset dan offset, dengan paruh waktu kira-kira sekitar 2 menit, memfasilitasi kadar optimal vasodilatasi pada pasien di ICU. Keterbatasan utama dari nitroprusside adalah efek samping dari sianida, yang bermanifestasi umumnya pada gastrointestinal dan sistem saraf. Sianida sepertinya paling sering beakumulasi pada perfusi hepar yang berat dan penurunan fungsi hepatik akibat cardiac output rendah, dan sepertinya sering terjadi pada pasien yang mendapatkan >250 µg/menit selama 48 jam. Toksisitas sianida dapat diatasi dengan penurunan atau penghentian infus nitroprusside. Pemakaian jangka panjang (> 48 jam) terkait dengan toleransi hemodinamik.
Nesiritide, vasodilator terbaru, merupakan rekombinan dari brain type natriuretic peptide (BNP), yang merupakan peptide endogenous yang disekresi utamanya pada LV sebagai respon peningkatan tekanan dinding. Nesiritide diberikan sebagai bolus (2 µg/kg) diikuti dengan infus dosis tetap (0.01–0.03 µg/kg per menit). Nesiritide efektif menurunkan tekanan pengisian LV dan meringankan gejala selama pengobatan HF akut. Sakit kepala lebih jarang terjadi pada nesiritide dibandingkan nitroglycerin. Walaupun disebut sebagai natriuretic peptide, nesiritide tidak pernah menyebabkan diuresis jika digunakan sendiri pada suatu penelitian klinik. Akan tetapi, sepertinya memiliki efek positif terhadap kerja pengobatan diuretik jika diberikan bersamaan, sehingga jumlah dosis diuretik yang dibutuhkan dapat diturunkan
Hipotensi merupakan efek samping yang paling sering terjadi pada ketiga agen vasodilatasi tersebut, walaupun nesiritide dianggap yang paling kurang efeknya. Hipotensi biasanya terkait dengan bradykardia, terutama dengan penggunaan nitroglycerin. Ketiga obat tersebut dapat menyebabkan vasodilatasi arteri pulmoner, dimana dapat memperburuk hypoxia pada pasien dengan abnormalitas ventilasi-perfusi.
Agen inotropik positif menghasilkan manfaat hemodinamika langsung dengan menstimulasi kontraktilitas kardiak, dan secara bersamaan menyebabkan vasodilatasi perifer. Efek hemodinamika ini secara bersamaan menghasilkan perbaikan pada cardiac output dan penurunan tekanan pengisian pada LV.
Dobutamine, merupakan agen inotropik yang paling sering digunakan pada penatalaksanaan HF akut, efek kerjanya dengan menstimulasi reseptor β1 and β2 dengan sedikit efek pada reseptor α1. Dobutamine diberikan sebagai infuse berkelanjutan, dengan dosis infuse permulaan sebesar 1–2 µg/kg permenit. Dosis lebih tinggi (>5 µg/kg per menit) biasanya diperlukan pada hipoperfusi berat; akan tetapi, terdapat sedikit penambahan manfaat jika dosis ditingkatkan diatas 10 µg/kg per menit. Pasien yang diinfus selama lebih dari 72 jam biasanya mengalami tachyphylaxis dan biasanya dosis perlu ditingkatkan.
Milrinone merupakan suatu inhibitor phosphodiesterase III yang menyebabkan peningkatan cAMP dengan meninhibisi katabolismenya. Milrinone dapat bekerja secara sinergis dengan β-adrenergic agonists untuk mendapatkan peningkatan cardiac output lebih tinggi dibandingkan jika pemakaian agen tersebut diberikan tersendiri, dan kemungkinan lebih efektif dibandingkan dengan dobutamin dalam meningkatkan cardiac output dengan keberadaan beta blocker. Milrinone dapat diberikan dengan cara bolus 0.5 µg/kg per menit, diikuti dengan dosis infuse sebesar 0.1–0.75 µg/kg per menit. Karena milrinone merupakan vasodilator yang lebih efektif dibandingkan dobutamin, obat ini lebih menurunkan tekanan pengisian LV walaupun dengan resiko hipotensi yang lebih besar.
Walaupun penggunaan jangka pendek inotrop memberikan manfaat hemodinamika, agen ini lebih cenderung mengakibatkan tachyarrhythmia dan kejadian iskemik dibandingkan vasodilator. Sehingga inotrop lebih tepat digunakan pada keadaan klinis dimana vasodilator dan diuretic tidak membantu, seperti pasien dengan perfusi sistemik yang buruk dan/atau shock cardiogenic, pada pasien yang membutuhkan dukungan hemodinamika jangka pendek pada infark myokard atau operasi, dan pada pasien persiapan transplantasi jantung atau sebagai perawatan paliatif pada pasien HF berat. Jika pasien membutuhkan penggunaan inotrop yang berkesinambungan, sangat dipertimbangkan untuk diberikan dalam keadaan ICU karena efek proarrhytmia pada agen tersebut.
Vasokontstriktor digunakan untuk mendukung tekanan darah sistemik pada pasien dengan HF. Dari ketiga agen yang biasanya sering digunakan (Tabel 5), dopamine merupakan pilihan pertama untuk terapi pada situasi dimana inotropy dan dukungan pressor dibutuhkan. Dopamin merupakan cathecolamine endogen yang menstimulasi reseptor β1, α1, dan reseptor dopaminergik (DA1 dan DA2) pada jantung dan sirkulasi. Efek dopamine bergantung pada dosisnya. Dosis dopamine rendah (<2>1 dan DA2 dan menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh splanchnic dan renal. Dosis Moderat (2–4 µg/kg per menit) menstimulasi reseptor β1 dan meningkatkan cardiac output dengan sedikit perubahan pada heart rate atau SVR. Pada dosis yang lebih tinggi (< 5 µg/kg per menit) efek dopamine pada reseptor α1 menyaingi reseptor dopaminergik dan vasokonstriksi terjadi, menyebabkan peningkatan SVR, tenakan pengisian LV, dan heart rate. Dopamine juga menyebabkan pelepasan norepinephrin dari terminal saraf, dimana akan menstimulasi reseptor α1 andβ 1 sehingga, meningkatkan tekanan darah. Dopamine merupakan terapi paling berguna pada pasien HF dengan cardiac output yang rendah dengan perfusi jaringan yang buruk (Profil C). Tambahan signifikan inotropic dan dukungan tekanan darah dapat diberikan dengan epinephrine, phenylepinephrin, dan vasopressin (Tabel 5); akan tetapi pemakaian berkepanjangan dapat menyebabkan kegagalan hati dan ginjal dan dapat menyebabkan gangrene pada ekstremitas. Sehingga, agen ini tidak diberikan kecuali pada keadaan darurat.
Jika intervensi farmakologik gagal menstabilkan pasien dengan HF refrakter maka intervensi mekanis dan invasive dapat memberikan dukungan sirkulasi yang lebih efektif. Terapi ini termasuk intraaortic balloon counter pulsation, alat bantuan LV, dan transplantasi jantung.
"Heart Failure" dalam Harrison's Principles of Internal Medicine 17 ed by Husnul Mubarak,S.Ked
· Komplikasi
· prognosis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar